Selasa, 21 Mei 2013

Fisiologi tumbuhan-respirasi kecambah


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

            Suatu sel mengorganisasi molekul organik kecil menjadi polimer. Sel memompa bahan melintasi membrane, Banyak sel berpindah dan mengubah bentuknya. Sel tumbuh dan bereproduksi. Dalam memenuhi kehidupanya tersebut tumbuhan melakukan respirasi (Rachmadiarti, F, dkk:2007).  Proses mendapatkan energi melalui respirasi dilakukan dengan katabolisme (pemecahan molekul besar menjadi molekul yang lebih sederhana), misalnya karbohidrat menjdi molekul yang lebih kecil, yaitu karbondioksida dan uap air. Sehingga reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
                        C6H12O6 +  6H2O                    6CO2 + 6H2O + Energi
Dari reaksi di atas, dapat dilihat bahwa karbondioksida dan uap air merupakan produk dari proses respirasi. Proses ini berawal dari glukosa yang dipecah dalam suatu rangkaian reaksi enzimatis, sehingga beberapa energi dibebaskan dan diubah menjadi bentuk ikatan Phospat bertenaga tinggi (ATP) dan sebagian lagi hilang sebagai panas. Reaksi enzimatis dalam respirasi berlangsung dalam suhu rendah dan pemecahan molekul senyawa organic berlangsung bertahap. Semakin besar CO2 yang dihasilkan maka dapat dipastikan bahwa kecepatan respirasinya semakin besar pula. Respirasi merupakan rangkaian dari 50 atau lebih reaksi komponen, masing-masing dikatalis oleh enzim yang berbeda. (Rachmadiarti, F, dkk:2007). Kecepatan respirasi ini dipengaruhi faktor-faktor yang berhubungan dengan enzim-enzim karena respirasi merupakan rangkaian reaksi enzimatis. Serta dipengaruhi oleh factor-faktor lain, yaitu factor dalam dan factor luar. Yang termasuk faktor dalam adalah umur tanaman dan konsentrasi substrat respirasi yang tersedia, sedangkan yang termasuk faktor luar adalah suhu (temperature), cahaya, konsentrasi oksigen diudara, konsentrasi karbon dioksida, tersedianya air serta adanya luka luka pada tumbuhan.
Berdasarkan hal diatas maka kami melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah ?
C. Tujuan
            Untuk mengetahui bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah.















BAB II
KAJIAN TEORI
                Respirasi adalah proses pelepasan energi yang menyediakan energi bagi keperluan sel. Sehingga dapat dikatakan bahwa respirasi adalah suatu proses yang mengoksidasi bahan bakar berupa senyawa organik didalam sel yang menghasilkan senyawa CO2, H2O, dan energi berupa ATP. Semua sel yang aktif melakukan respirasi. Pada waktu glukosa dipecah dalam suatu rangkaian reaksi enzimatis, beberapa energi dibebaskan dan diubah menjadi bentuk ikatan Phospat bertenaga tinggi (ATP) dan sebagian lagi hilang sebagai panas (Rahayu, Y.S, dkk : 2011). Pada tumbuhan respirasi terjadi di dalam sel yaitu dalam sitoplasma (anaerob) dan terutama di mitokondria (aerob). Di dalam mitokondria berlangsung pemecahan kerangka-kerangka karbon antara untuk menghasilkan berbagai produk essensial lainnya. Mitokondria mengandung DNA sirkular yang mempunyai informasi genetic untuk menghasilkan enzim. Panjang mitokondria hanya beberapa micrometer. Membran dalam mitokondria sangat berbelit-belit, menjorok ke matriks dengan pola seperti tabung yang sempit (Sallisbury, F.B:1995).
                                                   



Gambar 2.1 Struktur mitokondria

            Proses respirasi yang berlangsung di medium air, dengan pH mendekati netral, pada suhu sedang, tanpa asap, dan berdasarkan ketersediaan oksigen dibedakan atas respirasi aerob jika terkena oksigen dan respirasi anaerob jika tidak/kurang terkena oksigen (Rahayu, Y.S, dkk:2011).       

           
A. Respirasi anaerob
Respirasi yang berlangsung tanpa memerlukan oksigen tetapi membutuhkan asam organic sebagai acceptor electron. Respirasi yang tidak memerlukan oksigen penguraian bahan organic tidak lengkap/oksidasi tidak sempurna. Prosesnya sebagai berikut:
C6H12O6                2C2H5OH  + 2CO2 + ATP

B. Respirasi aerob
Respirasi yang menggunakan oksigen sebagai terminal acceptor electron (respirasi yang memerlukan oksigen penguraiannya lengkap sampai dihasilkan karbondioksida dan uap air atau oksidasi sempurna. Prosesnya sebagai berikut:
C6H12O6 +  6H2O     6CO2 + 6H2O + Energi

            Respirasi merupakan fungsi kumulatif dari tiga tahapan metabolic, yaitu glikolisis, dekarboksilasi oksidatif piruvat, siklus kreb dan transport electron. Pada umumnya substrat respirasi adalah karbohidrat dengan glukosa sebagai molekul pertama, berlangsung dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1. Glikolisis
            Merupakan proses penguraian 1 molekul glukosa menjadi 2 asam piruvat, 2 NADH2 dan 2 ATP. Terjadi di sitoplasma. Jalur dasar dari respirasi anaerob karena berlangsung dalam kondisi yang tidak membutuhkan oksigen. Terdiri dari sepuluh langkah yang masing-masing dikatalisis oleh enzim spesifik. Dari sni dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase persiapan mencakup pengubahan glukosa menjadi senyawa 3 karbon dan fase oksidasi mencakup pengubahan senyawa 3 karbon menjadi asam piruvat. Dari proses ini dihasilkan keseluruhan energy adalah 8 ATP. Enzim-enzim dalam proses glikolisis yaitu:
·         Heksokinase: Fosforilasi glukosa oleh ATP sehingga menghasilkan glukosa 6 fosfat
·         Fosfoglukoisomerase: Penyusunan molekul glukosa terfosforilasi menjadi fruktosa terfosforilasi(fruktosa 6 fosfat)
·         Fosfofruktokinase: Fosforilasi fruktosa 6 fosfat oleh ATP sehingga menghasilkan Fruktosa 1,6 Difosfat
·         Aldolase:Memecah fruktosa 1,6 difosfat menjadi dihidroksilaseton fosfat dan gliseraldehida 3 fosfat
·         Isomerase:Mengubah semua dihidroksilaseton fosfat menjadi gliseraldehida 3 fosfat
·         Gliseraldehida 3 fosfat dehidrogenase atau triosa fosfat dehidrogenase: Fosforilasi Gliseraldehida 3 fosfat oleh fosfat anorganik dari sitosol, oksidasi untuk membentuk NADH sehingga menghasilkan 1,3 difosfogliserat
·         Fosfogliserokinase: Pelepasan gugus fosfat untuk membentuk ATP sehingga menghasilkan 3 fosfogliserat
·         Fosfogliseromutase: Merubah 3 fosfogliserat menjadi 2 fosfogliserat
·         Enolase Menghasilkan air sehingga terbentuk fosfoenolpiruvat
·         Piruvat kinase Pelepasan gugus fosfat untuk membentuk ATP sehingga hasil akhir berupa asam piruvat

2. Dekarboksilasi Oksidatif piruvat
      Proses ini terjadi pada matriks mitokondria. Dalam proses ini terjadi pengubahan asam piruvat dengan penambahan Coenzim A menjadi Asetil CoA, karbondioksida, dan NADH. Enzim yang berperan adalah CoA dan piruvat dehirogenase yang berfungsi mereduksi piruvat sehingga melepaskan Co2 dan NADH serta berikatan dengan piruvat tereduksi(asetil) untuk dibawa ke mitokondria.
3. Siklus Kreb
Reaksi penguraian gugus asetil Co.A dari piruvat dioksidasi menghasilkan NADH, FADH, ATP dan CO2. Dinamakan siklus Krebs karena ditemukan oleh Hans Krebs bisa disebut juga siklus asam sitrat karena senyawa yang pertama kali terbentuk adalah asam sitrat. Terjadi di matriks mitokondria dan ringkasan tahapannya sebagai berikut:
·         Asetil CoA ditambah Oksaloasetat menghasilkan molekul sitrat yang berkarbon 6.
·         Penyusunan kembali molekul sitrat dan dekarboksilasi. 5 reaksi berikutnya menyederhanakan sitrat ke molekul 5 karbon dan kemudian ke molekul 4 karbon yaitu suksinat. Selama reaksi ini berlangsung, dihasilkan 2 NADH dan 1 ATP.
·         Regenerasi oksaloasetat. Suksinat melewati 3 reaksi tambahan untuk menjadi oksaloasetat. Selama proses ini, dihasilkan 1 NADH dan 2 FADH.
Enzim-enzim yang digunakan:
·         Sitrat sintetase: Membentuk sitrat dari oksaloasetat dan asetil CoA. Kerja enzim ini irreversible dan terhambat saat konsentrasi ATP tinggi dan dipicu ketika konsentrasi ATP rendah
·         Akonitase: Penyusunan kembali molekul sitrat dengan memindahkan gugus H dan OH pada karbon berlainan, membentuk isositrat
·         Isositrat dehidrogenase: Mengoksidasi isositrat sehingga dihasilkan NADH dan CO2, sehingga isositrat berubah menjadi molekul 5 karbon, α ketoglutarat
·         α ketoglutarat dehidrogenase: Mengoksidasi α ketoglutarat membentuk gugus suksinil yang bersatu dengan Coa sehingga terbentuk suksinil CoA
·         Suksinil KoA sintetase: Pelepasan ikatan antara gugus suksinil dan KoA untuk dijadikan ATP sehingga molekul tersisa menjadi Suksinat
·         Suksinat dehidrogenase: Mengoksidasi suksinat menjadi fumarat dan menghasilkan FADH
·         Fumarase: Menambahkan air ke fumarat untuk membentuk malat
·         Malat dehidrogenase: Mengoksidasi malat dan melepaskan NADH sehingga terbentuk kembali oksaloasetat.

4. Transport Elektron
Rantai transport elektron adalah proses terakhir untuk mengahsilkan ATP, H2O yang terjadi di membran dalam/krista mitokondria. Pada tahap ini, elektron yang dibawa oleh NADH ditransfer ke berbagai pembawa elektron supaya energinya bisa digunakan untuk memompa proton. Gradien proton yang dibuat oleh transpor elektron digunakan oleh enzim ATP sintase untuk menghasilkan ATP. Proses pemompaan proton untuk menghasilkan ATP juga disebut kemiosmosis.
Enzim-enzim yang terlibat anatara lain NADH dehidrogenase (melepaskan ion H dari NAD dan mengoper elektron ke ubiquinon), ubiquinon (mengoper elektron ke komplek protein sitrokrom), kompleks bc1 (memompa proton dan mengoper elektron ke sitrokrom c), sitokrom c (mereduksi oksigen dengan 4 elektron membentuk air), ATP sintase (memompa proton untuk menghasilkan ATP).
Dalam penguraian molekul kompleks (glukosa) seperti tahap di atas memerlukan berbagai enzim spesifik untuk mengubah masing-masing substrat. Enzim merupakan salah satu factor dalam proses respirasi. Terdapat factor-faktor lain yang mempengaruhi kecepatan respirasi, antara lain:
1)      Ketersediaan Oksigen
Masing-masing tumbuhan membutuhkan kadar oksigen yang berbeda, bahkan organ dalam satu tumbuhan. Fluktuasi normal oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari oksigen yang tersedia di udara. Oksigen dalam respirasi berfungsi untuk mengoksidasi NADH2 dan FADH2, mengurangi terjadinya respirasi anaerob dan memungkinkan siklus krebs.
2)      Suhu
Faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor Q10 dimana kecepatan respirasi akan meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC, namun tergantung pada masing-masing spesies.
3)      Ketersediaan Substrat
Kecepatan respirasi tergantung pada tersedianya substrat, yaitu senyawa yang akan diuraikan melalui berbagai reaksi. Tumbuhan yang mengandung cadangan pati, fruktan, dan gula yang rendah akan menunjukkan laju reaksi yang rendah. Jika defisiensi cadangan makanan pada tumbuhan terjadi sangat parah maka yang akan dioksidasi adalah protein. Protein tersebut dihidrolisis menjadi asam-asam amino penyusunnya, yang kemudian diurai melalui reaksi-reaksi glikolisis dan siklus krebs. Asam glutamat dan aspartat akan dikonversi menjadi asam alfaketoglukosa dan asam oksaloasetat. Demikian halnya dengan alanin yang dioksidasi untuk membentuk asam piruvat. Pada saat daun mulai menguning, maka sebagaian besar protein dan senyawa mengandung nitrogen pada kloroplas akan terurai. Ion-ion ammonium yang dibebaskan dari penguraian tersebut akan digunakan dalam sintesis glutamine dan asparagin. Hal ini akan menghindari tumbuhan dari keracunan ammonium.
4)      Tipe dan umur tumbuhan.
Masing-masing tumbuhan memiliki perbedaan metabolisme, sehingga kebutuhan respirasi berbeda pada masing-masing spesies. Tumbuhan muda menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dibanding tumbuhan yang tua. Demikian pula pada organ tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bakteri dan jamur umumnya menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dari tumbuhan tingkat tinggi. Perbedaan ini disebabkan karena bakteri dan jamur keduanya mengandung sedikit senyawa yang diakumulasi sebagai bahan cadangan makanan dan tidak mengandung sel-sel kayu non metabolic sebagaimana tumbuhan tingkat tinggi. Umur tumbuhan akan mempengaruhi laju respirasi. Laju respirasi tinggi pada saat perkecambahan dan tetap tinggi pada fase pertumbuhan vegetative awal (dimana laju pertumbuhan juga tinggi) dan kemudian turun dengan bertambahnya umur tumbuhan (google.judul-skripsi-tugas-makalah/biologi-umum/respirasi).
   5). Suhu                                                                                                                                                       
Di dalam rentang suhu 0°C - 45°C, peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan laju respirasi.  Pada suhu optimal kecepatan respirasi meningkat. Faktor waktu berkaitan dengan sifat dari reaksi enzimatis. Menurut Meyer dan Anderson dalam Soerodikoesoemo menjelaskan bahwa menurunnya laju respirasi pada suhu tinggi disebabkan oleh:
·      Masuknya oksigen ke dalam sel tidak cepat karena pada suhu yang tinggi konsentrasi oksigen menurun
·      Keluarnya CO2 tidak cepat sehingga banyak tertimbun di dalam sel dan menyebabkan hambatan pada proses respirasi.
·      Pada suhu tinggi substrat respirasi yang tersedia menurun sehingga subtract respirasi menjadi factor pembatas.  (Salisbury: 1995)
                       
5)      Ketersediaan air
Air merupakan medium tempat terjadinya reaksi respirasi. Oleh karena itu tidak tersedianya air menyebabkan menurunnya laju respirasi.
6)      Luka
Sudah lama para ahli fisiologi tumbuhan mengetahui bahwa adanya luka pada suatu organ tumbuhan memacu peningkatan laju respirasi. Umumnya adanya luka pada organ tumbuhan menimbulkan inisiasi meristematik pada daerah luka, yang akhirnya dapat berkembang menjadi kalus. Adanya inisiasi meristematik inilah yang menyebabkan peningkatan laju respirasi, karena pada sel-sel yang meristematik banyak terdapat substrat respirasiyang tersedia.
7)      Konsentrasi CO2
Meningkatnya konsentrasi CO2 di udara menyebabkan menutupnya stomata sehingga proses pertukaran gas menjadi terbatas (kurang cepat). Akibatnya terjadi penurunan laju respirasi.
8)      Beberapa senyawa kimia
Beberapa senyawa kimia seperti sianida, karbon monoksida, kloroform, eter, aseton, formaldehid, alkaloid, dan glukosida bila dalam jumlah sedikit dapat meningkatkan respirasi awal tetapi bila dalam jumlah banyak dapat menurunkan laju respirasi. Turunnya laju respirasi disebabkan karena senyawa tersebut bersifat menghambat reaksi enzimatis pada respirasi.

9)      Perlakuan mekanik
Beberapa perlakuan mekanik seperti pembengkokan, pengusapan, dan penggosokan dapat meningkatkan respirasi. Tetapi jika perlakuan mekanik secara berulang ulang maka efeknya tidak nampak lagi. (Soerodikoesoemo, 1995)
                                                                                           




           






























BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan adalah penelitian ekperimental karena penelitian ini dilakukan di laboratorium dan dalam penelitian ini terdapat variabel manipulasi, variabel kontrol dan variabel respon.
B. Variabel Penelitian
·         Variabel Manipulasi    :  suhu.
·                                                                                       Variabel Kontrol      : volume NaOH, konsentrasi NaOH, jumlah tetes PP, jenis kecambah, berat kecambah, umur kecambah, waktu penyimpanan kecambah, volume BaCl2.
·         Variabel Respon          :  volume CO2 hasil respirasi.

C. Alat dan Bahan
·         Alat
-          Erlenmeyer 250 ml                  6 buah
-          Neraca                                     1 buah
-          Buret                                       1 set
-          Pipet                                        1 buah
·         Bahan
-          Kecambah kacang hijau umur 2 hari            30 gr
-          Larutan NaOH 0,5 M                                  300 mL
-          Larutan HCl 0,5 M                                      secukupnya
-          Larutan BaCl2 0,5 M                                    15 mL
-          Larutan Phenolftalin (PP)                            secukupnya
-          Kain kasa                                                     secukupnya
-          Benang                                                         secukupnya
-          Plastik                                                          secukupnya

D. Langkah Kerja
  1. Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan.
  2. Menyiapkan 6 erlenmeyer lalu mengisi masing-masing dengan 30 ml larutan NaOH 0,5 M.
  3. Menimbang 5 gram kecambah yang disediakan kemudian membungkus dengan kain kasa dan diikat dengan seutas tali. Masing-masing 2 sampel untuk suhu ruangan dan 2 sampel untuk suhu dalam inkubator.
  4. Memasukkan kedalam Erlenmeyer dan menggantungkan bungkusan kecambah tersebut di atas larutan NaOH dengan bantuan tali. Kemudian menutup rapat-rapat botol tersebut dengan plastic.
  5. Menyimpan  2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa kecambah (control) masing-masing pada suhu ruangan dan yang lain di dalam incubator dengan suhu 370 C.
  6. Setelah 24 jam, melakukan titrasi untuk mengetahui jumla gas CO2 yang dilepaskan selama respirasi kecambah.
  7. Mengambil 5 ml larutan NaOH dalam botol kemudian memasukkan dalam Erlenmeyer. Setelah itu menambahkan 2,5 ml BaCl2 dan menetesi dengan 2 tetes PP sehingga larutan berwarna merah. Selanjutnya larutan tersebut dititrasi dengan HCl 0,5 M. Titrasi dihentikan setelah warna merah tepat hilang.
 
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1.      Tabel
Suhu
Erlenmeyer
Volume HCL (ml)
Total CO2/30 ml (ml)
Ruang
29OC
Kontrol (tanpa kecambah)
1,2
22,8
22,8
Ada kecambah (1)
0.8
25,2
26,1
Ada kecambah (2)
0.5
27
Inkubator
37OC
Kontrol (tanpa kecambah)
0,7
25,8
25,8
Ada kecambah (1)
0,5
27
26,7
Ada kecambah (2)
0,6
26,4

2. Grafik

           

Grafik 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Volume CO2 yang dikeluarkan pada Respirasi Kecambah

B. Analisis

            Dari tabel dan grafik di atas diperoleh bahwa jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang tidak berisi kecambah pada suhu 290C adalah 22,8 ml. Sedangkan rata-rata jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah pada suhu 290C 26,1 ml. Pada suhu 290C, volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah lebih besar daripada erlemenyer yang tidak berisi kecambah.
            Kemudian untuk suhu incubator, (370C), jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang tidak berisi kecambah adalah 25,8 ml. Sedangkan jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah adalah 26,7 ml. Pada suhu 370C, volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah lebih besar daripada erlemenyer yang tidak berisi kecambah.
            Jika dibandingkan antara erlemenyer yang berada pada suhu 290C dan 370C, maka volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah dengan suhu 370C, yaitu 26,7 ml lebih besar dari pada erlemenyer yang berisi kecambah pada suhu 290C, yaitu hanya 26,1 ml. Sedangkan untuk erlemenyer yang tidak berisi kecambah, jumlah volume CO2 yang dikeluarkan lebih besar pada suhu 37oC, yaitu 25,8 ml dari pada yang dikeluarkan pada suhu 29oC yaitu 22,8 ml.

C. Pembahasan
Pada percobaan ini, digunakan kecambah yang masih muda yaitu kecambah yang berumur 2 hari karena kecambah muda masih aktif melakukan metabolisme yang menghasilkan energy. Energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan kecambah. Sedangkan kotiledon yang merupakan cadangan makanan kecambah yang mengandung banyak pati. Pati merupakan substrat dalam respirasi kecambah, sehingga sebagian besar pati akan hilang selama pertumbuhannya.
Kecambah yang diuji digantung di dalam Erlenmeyer yang berisi 30 ml NaOH yang nantinya berfungsi untuk mengikat CO2 hasil respirasi kecambah. Dibutuhkan waktu 24 jam untuk mengamati respirasi kecambah. NaOH yang didapat dari erlenmeyer direaksikan dengan BaCl2 kemudian ditirasi dengan HCl untuk mengetahui banyaknya CO2 yang dibebaskan. Reaksi kimia yang berlangsung sebagai berikut :
·         Proses pengambilan NaOH dari tabung Erlenmeyer terjadi reaksi:
CO2  +  NaOH                     Na HCO3 + H2O
         oksidasi asam     basa                                  garam           air

·         Saat NaOH ditambahkan BaCl2 maka terjadi reaksi :
NaOH + BaCl2                  NaCl2 + Ba(OH)2
     Basa         garam                         garam                   basa

·         Setelah ditambahkan PP dan dititrasi dengan HCl maka didapatkan reaksi :
Ba(OH)2 + HCl                    2H 2O + BaCl2
                      Basa                  asam                           air         garam

Tidak semua CO2 bisa diikat oleh NaOH. NaOH yang tidak mengikat CO2 tersebut tidak semuanya bereaksi dengan BaCl2 dan menghasilkan Ba(OH)2 yang berwarna bening. Kemudian Ba(OH)2 tersebut diuji dengan PP, terjadi perubahan warna menjadi merah. Warna merah menunjukkan bahwa Ba(OH)2 bersifat basa. Ketika Ba(OH)2 sebanyak 5 ml dititrasi dengan HCl maka menghasilkan garam BaCl2 dengan indikasi perubahan warna Ba(OH)2 yang asalnya merah berubah menjadi bening (warna merah tepat hilang). Pada saat warna merah tepat hilang itulah dihitung volume HCl yang dibutuhkan untuk menetrasi Ba(OH)2. Volume HCl tersebut sebanding dengan volume NaOH yang tidak mengikat CO2, sehingga dari volume HCl dapat diketahui volume NaOH yang mengikat CO2.
Berdasarkan analisis data diketahui volume total CO2 yang dilepaskan dari proses respirasi kecambah. Pada suhu incubator (370C) diperoleh volume CO2 hasil respirasi lebih besar dibandingkan pada suhu ruangan. Setelah dianalisis menunjukkan bahwa kecepatan respirasi pada suhu 370C, dengan erlenmeyer tanpa kecambah adalah 1,075 ml/jam, sedangkan Erlenmeyer berisi kecambah adalah 1,11 ml/jam. Pada suhu 290C, dengan Erlenmeyer tanpa kecambah adalah 0,95 ml/jam, sedangkan Erlenmeyer berisi kecambah adalah 1,09 ml/jam. Hal ini menunjukkan antar suhu 370C kecepatan respirasi kecambah meningkat. Sedangkan pada suhu dibawah 370C yakni 290C kecepatan respirasi kecambah menurun. Hal ini dikarenakan pada suhu incubator terjadi akumulasi CO2 dalam sel-sel sampai kadar tertentu sehingga menghambat laju respirasi. Selain itu juga suplai dari substrat yang dioksidasi tidak cukup, sehingga laju respirasi tidak dapat stabil.
Data yang kami peroleh ini sesuai dengan teori bahwa kadar CO2 dalam 30 ml NaOH yang berada pada suhu inkubator lebih besar dari pada suhu ruangan, demikian juga pada kadar CO2 yang digunakan sebagai perlakuan (kecambah) lebih besar dari pada kadar CO2 yang digunakan sebagai kontrol.
Berdasarkan teori kecepatan respirasi pada suhu yang lebih tinggi (dalam hal ini 370C) lebih cepat dari pada kecepatan respirasi pada suhu ruangan (dalam hal ini 290C), namun kecepatan reaksi akan meningkat hanya sampai suhu optimum. Jika sudah melampaui suhu optimum maka kecepatan reaksi justru akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 370C merupakan suhu optimum kecambah untuk melakukan respirasi.









                                                                                   
BAB V
SIMPULAN

Berdasarkan percobaan mengenai pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi ini, maka dapat disimpulkan bahwa suhu berpengaruh terhadap kecepatan respirasi kecambah, semakin tinggi suhu maka semakin banyak CO2 yang dibebaskan, sehingga mempengaruhi laju respirasi yaitu akan semakin meningkat.























                                                                                                  



DAFTAR PUSTAKA


Rahayu, Yuni Sri, dkk. 2009. Panduan Praktikum Fisiologi Tumbuhan. Surabaya: Unipress Ikip Surabaya.

Salisbury, Frank B. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Bandung.

Soerdikoesoemo, wibisono. 1995. Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Universitas terbuka Depdikbud.


http://www.opensource.telkomspeedy.com/.../0117%20Bio%203-1f.
                 Diakses pada tanggal 26 Maret 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar