BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu sel mengorganisasi molekul
organik kecil menjadi polimer. Sel memompa bahan melintasi membrane, Banyak sel
berpindah dan mengubah bentuknya. Sel tumbuh dan bereproduksi. Dalam memenuhi kehidupanya tersebut tumbuhan melakukan respirasi
(Rachmadiarti, F, dkk:2007). Proses mendapatkan energi melalui respirasi dilakukan dengan katabolisme
(pemecahan molekul besar menjadi molekul yang
lebih sederhana), misalnya
karbohidrat menjdi molekul yang lebih kecil, yaitu karbondioksida dan uap air.
Sehingga reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Dari reaksi di atas, dapat dilihat bahwa karbondioksida dan uap
air merupakan produk
dari proses respirasi. Proses ini berawal dari glukosa yang
dipecah dalam suatu rangkaian reaksi enzimatis, sehingga beberapa energi
dibebaskan dan diubah menjadi bentuk ikatan Phospat bertenaga tinggi (ATP) dan
sebagian lagi hilang sebagai panas. Reaksi enzimatis dalam respirasi
berlangsung dalam suhu rendah dan pemecahan molekul senyawa organic berlangsung
bertahap. Semakin besar CO2
yang dihasilkan maka dapat dipastikan bahwa kecepatan respirasinya semakin
besar pula. Respirasi merupakan rangkaian dari 50 atau lebih
reaksi komponen, masing-masing dikatalis oleh enzim yang berbeda.
(Rachmadiarti, F, dkk:2007). Kecepatan
respirasi ini dipengaruhi faktor-faktor yang berhubungan dengan enzim-enzim
karena respirasi merupakan
rangkaian reaksi enzimatis. Serta dipengaruhi oleh
factor-faktor lain, yaitu factor dalam dan factor luar. Yang
termasuk faktor dalam adalah umur tanaman dan konsentrasi substrat respirasi
yang tersedia, sedangkan yang termasuk faktor luar adalah suhu (temperature),
cahaya, konsentrasi oksigen diudara, konsentrasi karbon dioksida, tersedianya
air serta adanya luka luka pada tumbuhan.
Berdasarkan
hal diatas maka kami melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh suhu
terhadap kecepatan respirasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu bagaimana
pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah ?
C. Tujuan
Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi kecambah.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
Respirasi
adalah proses pelepasan
energi yang menyediakan energi bagi keperluan sel. Sehingga dapat dikatakan bahwa respirasi adalah suatu proses yang
mengoksidasi bahan bakar berupa senyawa organik didalam sel yang menghasilkan
senyawa CO2, H2O, dan energi berupa ATP.
Semua sel yang aktif melakukan respirasi.
Pada waktu glukosa dipecah dalam suatu rangkaian reaksi enzimatis, beberapa
energi dibebaskan dan diubah menjadi bentuk ikatan Phospat bertenaga tinggi
(ATP) dan sebagian lagi hilang sebagai panas (Rahayu, Y.S, dkk : 2011). Pada
tumbuhan respirasi terjadi di dalam sel yaitu dalam sitoplasma (anaerob) dan
terutama di mitokondria (aerob). Di dalam mitokondria berlangsung pemecahan
kerangka-kerangka karbon antara untuk menghasilkan berbagai produk essensial
lainnya. Mitokondria mengandung DNA sirkular yang mempunyai informasi genetic
untuk menghasilkan enzim. Panjang mitokondria hanya beberapa micrometer.
Membran dalam mitokondria sangat berbelit-belit, menjorok ke matriks dengan
pola seperti tabung yang sempit (Sallisbury, F.B:1995).

Gambar
2.1 Struktur mitokondria
Sumber:
www.google/mitokondria.com
Proses
respirasi yang berlangsung di medium air, dengan pH mendekati netral, pada suhu
sedang, tanpa
asap, dan
berdasarkan ketersediaan oksigen dibedakan atas respirasi aerob jika terkena
oksigen dan respirasi anaerob jika tidak/kurang terkena oksigen (Rahayu, Y.S,
dkk:2011).
A.
Respirasi anaerob
Respirasi
yang berlangsung tanpa memerlukan oksigen tetapi membutuhkan asam organic
sebagai acceptor electron. Respirasi yang tidak memerlukan oksigen penguraian
bahan organic tidak lengkap/oksidasi tidak sempurna. Prosesnya sebagai berikut:
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + ATP
B.
Respirasi aerob
Respirasi
yang menggunakan oksigen sebagai terminal acceptor electron (respirasi yang
memerlukan oksigen penguraiannya lengkap sampai dihasilkan karbondioksida dan
uap air atau oksidasi sempurna. Prosesnya sebagai berikut:
C6H12O6 + 6H2O → 6CO2
+ 6H2O + Energi
Respirasi
merupakan fungsi kumulatif dari tiga tahapan metabolic, yaitu glikolisis,
dekarboksilasi oksidatif piruvat, siklus kreb dan transport electron. Pada
umumnya substrat respirasi adalah karbohidrat dengan glukosa sebagai molekul
pertama, berlangsung dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1.
Glikolisis
Merupakan
proses penguraian 1 molekul glukosa menjadi 2 asam piruvat, 2 NADH2 dan
2 ATP. Terjadi di sitoplasma. Jalur dasar dari respirasi anaerob karena
berlangsung dalam kondisi yang tidak membutuhkan oksigen. Terdiri dari sepuluh
langkah yang masing-masing dikatalisis oleh enzim spesifik. Dari sni dapat
dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase persiapan mencakup pengubahan glukosa menjadi
senyawa 3 karbon dan fase oksidasi mencakup pengubahan senyawa 3 karbon menjadi
asam piruvat. Dari proses ini dihasilkan keseluruhan energy adalah 8 ATP. Enzim-enzim
dalam proses glikolisis yaitu:
·
Heksokinase: Fosforilasi glukosa oleh ATP
sehingga menghasilkan glukosa 6 fosfat
·
Fosfoglukoisomerase: Penyusunan molekul glukosa
terfosforilasi menjadi fruktosa terfosforilasi(fruktosa 6 fosfat)
·
Fosfofruktokinase: Fosforilasi fruktosa 6
fosfat oleh ATP sehingga menghasilkan Fruktosa 1,6 Difosfat
·
Aldolase:Memecah fruktosa 1,6 difosfat menjadi
dihidroksilaseton fosfat dan gliseraldehida 3 fosfat
·
Isomerase:Mengubah semua dihidroksilaseton
fosfat menjadi gliseraldehida 3 fosfat
·
Gliseraldehida 3 fosfat dehidrogenase atau
triosa fosfat dehidrogenase: Fosforilasi Gliseraldehida 3 fosfat oleh fosfat
anorganik dari sitosol, oksidasi untuk membentuk NADH sehingga menghasilkan 1,3
difosfogliserat
·
Fosfogliserokinase: Pelepasan gugus fosfat
untuk membentuk ATP sehingga menghasilkan 3 fosfogliserat
·
Fosfogliseromutase: Merubah 3 fosfogliserat
menjadi 2 fosfogliserat
·
Enolase Menghasilkan air sehingga terbentuk
fosfoenolpiruvat
·
Piruvat kinase Pelepasan gugus fosfat untuk
membentuk ATP sehingga hasil akhir berupa asam piruvat
2.
Dekarboksilasi Oksidatif piruvat
Proses ini terjadi pada matriks
mitokondria. Dalam proses ini terjadi pengubahan asam piruvat dengan penambahan
Coenzim A menjadi Asetil CoA, karbondioksida, dan NADH. Enzim
yang berperan adalah CoA dan piruvat dehirogenase yang berfungsi mereduksi
piruvat sehingga melepaskan Co2 dan NADH serta berikatan dengan piruvat
tereduksi(asetil) untuk dibawa ke mitokondria.
3. Siklus Kreb
Reaksi penguraian gugus
asetil Co.A dari piruvat dioksidasi menghasilkan NADH, FADH, ATP dan CO2. Dinamakan
siklus Krebs karena ditemukan oleh Hans Krebs bisa disebut juga siklus asam
sitrat karena senyawa yang pertama kali terbentuk adalah asam sitrat. Terjadi
di matriks mitokondria dan ringkasan tahapannya sebagai berikut:
·
Asetil CoA ditambah Oksaloasetat menghasilkan
molekul sitrat yang berkarbon 6.
·
Penyusunan kembali molekul sitrat dan
dekarboksilasi. 5 reaksi berikutnya menyederhanakan sitrat ke molekul 5 karbon
dan kemudian ke molekul 4 karbon yaitu suksinat. Selama reaksi ini berlangsung,
dihasilkan 2 NADH dan 1 ATP.
·
Regenerasi oksaloasetat. Suksinat melewati 3
reaksi tambahan untuk menjadi oksaloasetat. Selama proses ini, dihasilkan 1
NADH dan 2 FADH.
Enzim-enzim yang digunakan:
·
Sitrat sintetase: Membentuk sitrat dari
oksaloasetat dan asetil CoA. Kerja enzim ini irreversible dan terhambat saat
konsentrasi ATP tinggi dan dipicu ketika konsentrasi ATP rendah
·
Akonitase: Penyusunan kembali molekul sitrat
dengan memindahkan gugus H dan OH pada karbon berlainan, membentuk isositrat
·
Isositrat dehidrogenase: Mengoksidasi isositrat
sehingga dihasilkan NADH dan CO2, sehingga isositrat berubah menjadi molekul 5
karbon, α ketoglutarat
·
α ketoglutarat dehidrogenase: Mengoksidasi α
ketoglutarat membentuk gugus suksinil yang bersatu dengan Coa sehingga
terbentuk suksinil CoA
·
Suksinil KoA sintetase: Pelepasan ikatan antara
gugus suksinil dan KoA untuk dijadikan ATP sehingga molekul tersisa menjadi
Suksinat
·
Suksinat dehidrogenase: Mengoksidasi suksinat
menjadi fumarat dan menghasilkan FADH
·
Fumarase: Menambahkan air ke fumarat untuk
membentuk malat
·
Malat dehidrogenase: Mengoksidasi malat dan
melepaskan NADH sehingga terbentuk kembali oksaloasetat.
4.
Transport Elektron
Rantai transport elektron
adalah proses terakhir untuk mengahsilkan ATP, H2O yang terjadi di membran
dalam/krista mitokondria. Pada tahap ini, elektron yang dibawa oleh NADH
ditransfer ke berbagai pembawa elektron supaya energinya bisa digunakan untuk
memompa proton. Gradien proton yang dibuat oleh transpor elektron digunakan
oleh enzim ATP sintase untuk menghasilkan ATP. Proses pemompaan proton untuk
menghasilkan ATP juga disebut kemiosmosis.
Enzim-enzim yang terlibat
anatara lain NADH dehidrogenase (melepaskan ion H dari NAD dan mengoper
elektron ke ubiquinon), ubiquinon (mengoper elektron ke komplek protein
sitrokrom), kompleks bc1 (memompa proton dan mengoper elektron ke sitrokrom c),
sitokrom c (mereduksi oksigen dengan 4 elektron membentuk air), ATP sintase
(memompa proton untuk menghasilkan ATP).
Dalam
penguraian molekul kompleks (glukosa) seperti tahap di atas memerlukan berbagai
enzim spesifik untuk mengubah masing-masing substrat. Enzim merupakan salah
satu factor dalam proses respirasi. Terdapat factor-faktor lain yang
mempengaruhi kecepatan respirasi, antara lain:
1) Ketersediaan
Oksigen
Masing-masing tumbuhan membutuhkan kadar
oksigen yang berbeda, bahkan organ dalam satu tumbuhan. Fluktuasi normal
oksigen di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah
oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari
oksigen yang tersedia di udara. Oksigen dalam respirasi berfungsi untuk
mengoksidasi NADH2 dan FADH2, mengurangi terjadinya
respirasi anaerob dan memungkinkan siklus krebs.
2) Suhu
Faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan
sangat terkait dengan faktor Q10 dimana kecepatan respirasi akan
meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC, namun tergantung
pada masing-masing spesies.
3) Ketersediaan
Substrat
Kecepatan
respirasi tergantung pada tersedianya substrat, yaitu senyawa yang akan
diuraikan melalui berbagai reaksi. Tumbuhan yang mengandung cadangan pati,
fruktan, dan gula yang rendah akan menunjukkan laju reaksi yang rendah. Jika
defisiensi cadangan makanan pada tumbuhan terjadi sangat parah maka yang akan
dioksidasi adalah protein. Protein tersebut dihidrolisis menjadi asam-asam
amino penyusunnya, yang kemudian diurai melalui reaksi-reaksi glikolisis dan
siklus krebs. Asam glutamat dan aspartat akan dikonversi menjadi asam
alfaketoglukosa dan asam oksaloasetat. Demikian halnya dengan alanin yang
dioksidasi untuk membentuk asam piruvat. Pada saat daun mulai menguning, maka
sebagaian besar protein dan senyawa mengandung nitrogen pada kloroplas akan
terurai. Ion-ion ammonium yang dibebaskan dari penguraian tersebut akan
digunakan dalam sintesis glutamine dan asparagin. Hal ini akan menghindari
tumbuhan dari keracunan ammonium.
4) Tipe
dan umur tumbuhan.
Masing-masing tumbuhan memiliki
perbedaan metabolisme,
sehingga kebutuhan respirasi berbeda pada masing-masing spesies. Tumbuhan muda
menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dibanding tumbuhan yang tua.
Demikian pula pada organ tumbuhan yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bakteri
dan jamur umumnya menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dari tumbuhan tingkat
tinggi. Perbedaan ini disebabkan karena bakteri dan jamur keduanya mengandung
sedikit senyawa yang diakumulasi sebagai bahan cadangan makanan dan tidak
mengandung sel-sel kayu non metabolic sebagaimana tumbuhan tingkat tinggi. Umur
tumbuhan akan mempengaruhi laju respirasi. Laju respirasi tinggi pada saat
perkecambahan dan tetap tinggi pada fase pertumbuhan vegetative awal (dimana
laju pertumbuhan juga tinggi) dan kemudian turun dengan bertambahnya umur
tumbuhan (google.judul-skripsi-tugas-makalah/biologi-umum/respirasi).
5). Suhu
Di dalam rentang suhu 0°C - 45°C,
peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan
laju respirasi. Pada suhu optimal kecepatan
respirasi meningkat. Faktor waktu berkaitan dengan sifat dari reaksi enzimatis.
Menurut Meyer dan Anderson dalam Soerodikoesoemo menjelaskan bahwa menurunnya
laju respirasi pada suhu tinggi disebabkan oleh:
· Masuknya
oksigen ke dalam sel tidak cepat karena pada suhu yang tinggi konsentrasi
oksigen menurun
· Keluarnya
CO2 tidak cepat sehingga banyak tertimbun di dalam sel dan
menyebabkan hambatan pada proses respirasi.
· Pada
suhu tinggi substrat respirasi yang tersedia menurun sehingga subtract
respirasi menjadi factor pembatas. (Salisbury:
1995)
5) Ketersediaan
air
Air merupakan medium
tempat terjadinya reaksi respirasi. Oleh karena itu tidak tersedianya air
menyebabkan menurunnya laju respirasi.
6) Luka
Sudah lama para ahli
fisiologi tumbuhan mengetahui bahwa adanya luka pada suatu organ tumbuhan
memacu peningkatan laju respirasi. Umumnya adanya luka pada organ tumbuhan
menimbulkan inisiasi meristematik pada daerah luka, yang akhirnya dapat
berkembang menjadi kalus. Adanya inisiasi meristematik inilah yang menyebabkan
peningkatan laju respirasi, karena pada sel-sel yang meristematik banyak
terdapat substrat respirasiyang tersedia.
7) Konsentrasi
CO2
Meningkatnya
konsentrasi CO2 di udara menyebabkan menutupnya stomata sehingga
proses pertukaran gas menjadi terbatas (kurang cepat). Akibatnya terjadi
penurunan laju respirasi.
8) Beberapa
senyawa kimia
Beberapa senyawa kimia seperti sianida, karbon
monoksida, kloroform, eter, aseton, formaldehid, alkaloid, dan glukosida bila
dalam jumlah sedikit dapat meningkatkan respirasi awal tetapi bila dalam jumlah
banyak dapat menurunkan laju respirasi. Turunnya laju respirasi disebabkan
karena senyawa tersebut bersifat menghambat reaksi enzimatis pada respirasi.
9) Perlakuan
mekanik
Beberapa perlakuan
mekanik seperti pembengkokan, pengusapan, dan penggosokan dapat meningkatkan
respirasi. Tetapi jika perlakuan mekanik secara berulang ulang maka efeknya
tidak nampak lagi. (Soerodikoesoemo, 1995)
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Penelitian dilakukan adalah penelitian
ekperimental karena penelitian ini dilakukan di laboratorium dan dalam
penelitian ini terdapat variabel manipulasi, variabel kontrol dan variabel
respon.
B. Variabel
Penelitian
·
Variabel Manipulasi : suhu.
·
Variabel Kontrol : volume NaOH, konsentrasi NaOH, jumlah tetes PP, jenis
kecambah, berat kecambah, umur kecambah, waktu penyimpanan kecambah, volume
BaCl2.
·
Variabel Respon : volume CO2
hasil respirasi.
C. Alat
dan Bahan
·
Alat
-
Erlenmeyer 250 ml 6 buah
-
Neraca 1
buah
-
Buret 1 set
-
Pipet 1
buah
·
Bahan
-
Kecambah kacang hijau umur 2 hari 30 gr
-
Larutan NaOH 0,5 M 300 mL
-
Larutan HCl 0,5 M secukupnya
-
Larutan BaCl2 0,5 M 15 mL
-
Larutan Phenolftalin (PP) secukupnya
-
Kain kasa secukupnya
-
Benang secukupnya
-
Plastik secukupnya
D. Langkah
Kerja
- Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan.
- Menyiapkan 6 erlenmeyer lalu mengisi masing-masing dengan 30 ml larutan NaOH 0,5 M.
- Menimbang 5 gram kecambah yang disediakan kemudian membungkus dengan kain kasa dan diikat dengan seutas tali. Masing-masing 2 sampel untuk suhu ruangan dan 2 sampel untuk suhu dalam inkubator.
- Memasukkan kedalam Erlenmeyer dan menggantungkan bungkusan kecambah tersebut di atas larutan NaOH dengan bantuan tali. Kemudian menutup rapat-rapat botol tersebut dengan plastic.
- Menyimpan 2 botol berisi kecambah dan 1 botol tanpa kecambah (control) masing-masing pada suhu ruangan dan yang lain di dalam incubator dengan suhu 370 C.
- Setelah 24 jam, melakukan titrasi untuk mengetahui jumla gas CO2 yang dilepaskan selama respirasi kecambah.
- Mengambil 5 ml larutan NaOH dalam botol kemudian memasukkan dalam Erlenmeyer. Setelah itu menambahkan 2,5 ml BaCl2 dan menetesi dengan 2 tetes PP sehingga larutan berwarna merah. Selanjutnya larutan tersebut dititrasi dengan HCl 0,5 M. Titrasi dihentikan setelah warna merah tepat hilang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Tabel
Suhu
|
Erlenmeyer
|
Volume
HCL (ml)
|
Total
CO2/30 ml (ml)
|
|
Ruang
29OC
|
Kontrol (tanpa kecambah)
|
1,2
|
22,8
|
22,8
|
Ada kecambah (1)
|
0.8
|
25,2
|
26,1
|
|
Ada kecambah (2)
|
0.5
|
27
|
||
Inkubator
37OC
|
Kontrol (tanpa kecambah)
|
0,7
|
25,8
|
25,8
|
Ada kecambah (1)
|
0,5
|
27
|
26,7
|
|
Ada kecambah (2)
|
0,6
|
26,4
|
2. Grafik
Grafik
4.1 Pengaruh
Suhu Terhadap Volume CO2 yang dikeluarkan pada Respirasi Kecambah
B. Analisis
Dari tabel dan grafik di atas diperoleh bahwa jumlah volume CO2
yang dikeluarkan pada erlemenyer yang tidak berisi kecambah pada suhu 290C adalah 22,8 ml. Sedangkan rata-rata jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada
erlemenyer yang berisi kecambah pada suhu 290C 26,1 ml. Pada suhu 290C, volume CO2 yang dikeluarkan pada
erlemenyer yang berisi kecambah lebih besar daripada erlemenyer yang tidak
berisi kecambah.
Kemudian
untuk suhu incubator, (370C), jumlah volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang tidak
berisi kecambah adalah 25,8 ml. Sedangkan jumlah volume CO2
yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi kecambah adalah 26,7 ml. Pada suhu 370C, volume CO2 yang dikeluarkan pada
erlemenyer yang berisi kecambah lebih besar daripada erlemenyer yang tidak
berisi kecambah.
Jika
dibandingkan antara erlemenyer yang berada pada suhu 290C dan 370C, maka volume CO2 yang dikeluarkan pada erlemenyer yang berisi
kecambah dengan suhu 370C, yaitu 26,7 ml lebih besar dari pada erlemenyer yang berisi kecambah pada
suhu 290C, yaitu hanya 26,1 ml. Sedangkan untuk erlemenyer yang tidak berisi
kecambah, jumlah volume CO2 yang dikeluarkan lebih besar pada
suhu 37oC, yaitu 25,8 ml dari pada yang dikeluarkan pada suhu 29oC
yaitu 22,8 ml.
C. Pembahasan
Pada percobaan ini, digunakan kecambah yang masih muda yaitu kecambah
yang berumur 2 hari karena kecambah muda masih aktif melakukan metabolisme yang
menghasilkan energy. Energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan kecambah. Sedangkan
kotiledon yang merupakan cadangan makanan kecambah yang mengandung banyak pati.
Pati merupakan substrat dalam respirasi kecambah, sehingga sebagian besar pati
akan hilang selama pertumbuhannya.
Kecambah yang diuji digantung di dalam Erlenmeyer yang berisi 30 ml NaOH
yang nantinya berfungsi untuk mengikat CO2 hasil respirasi kecambah.
Dibutuhkan waktu 24 jam untuk mengamati respirasi kecambah. NaOH yang didapat
dari erlenmeyer direaksikan dengan BaCl2 kemudian ditirasi dengan HCl untuk mengetahui banyaknya CO2
yang dibebaskan. Reaksi kimia yang berlangsung sebagai berikut :
·
Proses pengambilan NaOH dari tabung Erlenmeyer terjadi
reaksi:
CO2 + NaOH Na HCO3 + H2O
oksidasi asam basa
garam air
·
Saat NaOH ditambahkan BaCl2 maka terjadi reaksi :
NaOH + BaCl2 NaCl2 + Ba(OH)2
Basa garam garam basa
·
Setelah ditambahkan PP dan dititrasi dengan HCl
maka didapatkan reaksi :
Ba(OH)2 + HCl 2H 2O + BaCl2
Basa
asam air garam
Tidak semua CO2 bisa diikat oleh NaOH. NaOH yang tidak
mengikat CO2 tersebut tidak semuanya bereaksi dengan BaCl2
dan menghasilkan Ba(OH)2 yang berwarna bening. Kemudian Ba(OH)2
tersebut diuji dengan PP, terjadi perubahan warna menjadi merah. Warna merah
menunjukkan bahwa Ba(OH)2 bersifat basa. Ketika Ba(OH)2
sebanyak 5 ml dititrasi dengan HCl maka menghasilkan garam BaCl2
dengan indikasi perubahan warna Ba(OH)2 yang asalnya merah berubah
menjadi bening (warna merah tepat hilang). Pada saat warna merah tepat hilang
itulah dihitung volume HCl yang dibutuhkan untuk menetrasi Ba(OH)2. Volume
HCl tersebut sebanding dengan volume NaOH yang tidak mengikat CO2,
sehingga dari volume HCl dapat diketahui volume NaOH yang mengikat CO2.
Berdasarkan
analisis data diketahui volume total
CO2 yang dilepaskan
dari proses respirasi kecambah. Pada suhu incubator (370C) diperoleh
volume CO2 hasil respirasi lebih besar dibandingkan pada suhu
ruangan. Setelah dianalisis menunjukkan bahwa kecepatan respirasi pada suhu 370C,
dengan erlenmeyer tanpa kecambah adalah 1,075 ml/jam, sedangkan Erlenmeyer
berisi kecambah adalah 1,11 ml/jam. Pada suhu 290C, dengan Erlenmeyer tanpa kecambah adalah 0,95
ml/jam, sedangkan Erlenmeyer berisi kecambah adalah 1,09 ml/jam. Hal ini menunjukkan
antar suhu 370C kecepatan respirasi kecambah meningkat. Sedangkan
pada suhu dibawah 370C
yakni 290C kecepatan
respirasi kecambah menurun. Hal ini dikarenakan pada suhu incubator terjadi akumulasi CO2 dalam
sel-sel sampai kadar tertentu sehingga menghambat laju respirasi. Selain itu juga suplai
dari substrat yang dioksidasi tidak cukup, sehingga laju respirasi tidak dapat
stabil.
Data yang kami peroleh ini
sesuai dengan teori bahwa kadar
CO2 dalam 30 ml NaOH yang berada pada suhu inkubator lebih besar
dari pada suhu ruangan, demikian
juga pada kadar CO2 yang digunakan sebagai perlakuan (kecambah) lebih besar dari pada kadar CO2 yang
digunakan sebagai kontrol.
Berdasarkan teori kecepatan respirasi pada suhu yang lebih tinggi (dalam
hal ini 370C) lebih cepat
dari pada kecepatan respirasi pada suhu ruangan (dalam hal ini 290C), namun kecepatan reaksi
akan meningkat hanya sampai suhu optimum. Jika sudah melampaui suhu optimum
maka kecepatan reaksi justru akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 370C
merupakan suhu optimum kecambah untuk melakukan respirasi.
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan
percobaan mengenai pengaruh suhu terhadap kecepatan respirasi ini, maka dapat
disimpulkan bahwa suhu berpengaruh terhadap kecepatan respirasi kecambah, semakin
tinggi suhu maka semakin banyak CO2 yang dibebaskan, sehingga
mempengaruhi laju respirasi yaitu akan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, Yuni Sri, dkk. 2009.
Panduan Praktikum Fisiologi Tumbuhan. Surabaya: Unipress Ikip Surabaya.
Salisbury,
Frank B. 1995. Fisiologi Tumbuhan.
Bandung: ITB Bandung.
Soerdikoesoemo,
wibisono. 1995. Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Universitas
terbuka Depdikbud.
http://www.rasyid14.files.wordpress.com/2009/02/1k41dmychyyxu35wnmod pdf. Diakses pada tanggal 26 Maret 2011
http://www.opensource.telkomspeedy.com/.../0117%20Bio%203-1f.
Diakses pada tanggal 26 Maret
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar